Makalah Hukum Gadai
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam
hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara untuk mencari uang dan salah
satunya dengan cara gadai ( rahn ). Para ulama’ berpendapat bahwa gadai boleh
dilakukan dan tidak termasuk riba apabila memenuhi syaratdan rukunnya. Akan
tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut, sehingga tidak
sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalantanpa mengetahui hukum
dasar gadai tersebut.
Dalam
syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at
tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan. Ada
kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang kehabisan
bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya
untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.
Dalam
kehidupan bisnis baik Klasik dan Modern, masalah penggadaian tidak terlepas
dari masalah perekonomian. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pnggadaian
dijelaskan sebagai berikut .
Selain
daripada itu, keinginan manusia untuk memnuhi kebutuhannya, cenderung membuat
mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala, misalnya
saja kekurangan modal, tenaga dsb. maka dari itu, dalam islam diberlakukan
syari’at gadai. Adapun pengertian, hukum, dan syaratnya, serta bagaimana
penggunaannya akan dibahas dalam makalah ini.
1.2.Rumusan masalah
1. Apa
pengertian gadai? dan bagaimana hukumnya?
2. Dasar
Hukum Gadai
3. Apa
saja syarat dan rukun gadai?
4. Bagaimana
pemanfaatan barang gadai?
5. Operasionalisasi
Barang Gadai dan perbedaan dengan akad gadai konvesional
6. Penjualan
Barang Gadai
7. Akhir
Gada
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Gadai ( Ar-Rahn )
Secara
etimologi rahnatau gadai berarti الثُّبُوْتُ وَ الْحَادُ ( tetap atau penahanan )
Sedangkan secara
terminologi pengertian rahn adalah menahan suatu benda secara hak yang
memungkinkan untuk dieksekusi, maksudnya menjadikan sebuah benda atau barang
yang memiki nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang
selama dari barang tersebut hutang dapat diganti baik keseluruhan atau sebagian
.
Ulama’ fiqih berbeda
pendapat dalam mendefinisikan rahn :
1. Menurut
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah:
Menjadikan suatu benda
atau harta sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika
berhalangan dalam membayar utang. Harta yang dimaksud madzhab ini sebatas
berupa materi , bukan termasuk dalam harta manfaat .
2. Menurut
Ulama’ Malikiyah :
Harta yang dijadikan
oleh pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat. Menurutnya harta
tersebut bukan saja berupa materi, namun juga berupa manfaat. Harta yang
diserahkannya tersebut penyerahannya tidak secara aktual, tetapi bisa secara
hukum. Misalnya, menyerahkan sawah sebagai jaminan, maka yang diserahi jaminan,
maka yang diserahkan sebagai jaminan adalah sertifikasinya.
3. Menurut
Ulama’ Hanafiah :
Menjadikan suatu barang
sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan sebagai pembayar
hak piutang tersebut, baik seluruh maupun sebagian .
Sedangkan
menurut Hukum Perdata dalam kitab Undang-undang hukum pedata pasal 1150, bagian
ke dua puluh, Bab gadai, Buku ke tiga menyatakan bahwa gadai adalah suatu hak
yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang yang bergerak, yang
diserahkan oleh seorang yang berutang kepadanya .
2.2 Dasar
hukum Gadai ( Rahn )
Ar-Râhn adalah sebagai
salah satu akad dalam fiqih muamalah dan hukumnya boleh menurut al qur’an,
sunnah, dan Ijma’ para ulama’.
1. Dalam
al qur’an telah dijelaskan tentang rahn pada surah al-Baqoroh ayat 283 :
وَإِنْ
كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُضَةٌ, فَإِنْ
آمَنَ بَعْضٌكٌمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَنَتَهُ.......
Dan apabila kamu dalam
perjalanan dan bermuamalah tidak secara tunai, sedangkan kamu tidak memperoleh
seorang penulis, hendaklah ada barang tangguangan yang dipegang. Akan tatapi,
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya ( hutangnya ).( QS. Al-Baqorah: 283 ) .
2. Dalam
As-Sunnah
أَنَّ
النّبِيَّ صَلَّى الَّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إشْتَرَى مِنْ يَهُوْدِيُّ طَعَامًا
إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
“Sesungguhnya Rosulullah
saw pernah membeli makanan dengan berhutang dan nabi menggadaikan sebuahbaju
besi kepadanya. ”
رَهَنَ
رَسُوْلُ الّلهِ صَلَّى الّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا عِنْدَ يَهُوْدِيٌ
بِالْمَدِيْنَةِ وَاَخَذَ مِنْهُ شَعِيْرًا لِأَهْلِهِ
“Rosulullah saw,
merungguhkan baju besi kepada seorang yahudi di madinah ketika beliau menutang
gandung kepada seorang yahudi. ”
3. Dalam
Ijma’ para ulama’:
Jumhur ulama
memperbolehkan dalam bepergian atau dimana saja berdasar hadits nabi yang
melakukan transaksi gadai di Madinah.
Sehingga dapat
disimpulkan perjanjian gadai diperbolehkan di dalam islam berdasarkan Al qur’an
surat Al Baqoroh ayat 283, hadits nabi Muhammad saw, dan ijma ulama.
Para Ulama’ telah
sepakat bahwa gadai itu boleh, dan tidak terdengar seorang pun menyalahinya .
2.3 Syarat
dan Rukun Gadai atau Rahn
Gadai atau Rahn dengan
jaminan harus memenuhi beberapa rukun
1. RukunRahn
a. Orang
yang menggadaikan( rahin )
b. Yang
memintagadai( murtahin )
c. Barang
yang digadaikan( marhunataurahn )
d. Utang
( marhunbih )
e. Ucapan
sighot ijab
2. SyaratRahn
Adapunsyarat-syarat yang
terkait dengan rukun diatas, diantaranya yaitu :
a. Syarat
yang terkait dengan marhun ( barang yang digadaikan )
1. Barang
yang digadaikan adalah barang yang dapat diperjual belikan( memiliki nilai ekonomis
) dalam pandangan syara’.
2. Nilainya
seimbang dengan hutang
3. Jelas
dan tertentu
4. Tidak
terkait dengan hak orang lain
5. Bisa
diserahkan baik materinya maupun manfaatnya
b. Syarat
yang terkait dengan marhunbih ( tanggungan atau hutang )
1. Hak
yang wajib dikembalikan dan diserahkan kepada pemiliknya dan memungkinkan
pemanfaatannya
2. Bila
sesuatu yang menjadi hutang tidak bias dimanfaatkan maka tidaksah
3. Hutang
jelas dan tertentu
c. Syarat
yang terkait dengan pelaku transaksi rahn dan murtahin
Syarat bagi pihak-pihak
yang melakukan transaksi adalah mereka harus memenuhi kreteria ahli yatul
al-tabarru : yakni berakal sehat, baligh, cakap bertindak dalam mengelola
hartanya, dan dalam kondisi tidak ada paksaan dan tekanan .
d. Syarat
yang terakhir terkait dengan shigat ( ucapan serah terima )
Shighat ini tidak boleh
terkait dengan syarat tertentu dan juga dengan waktu dimasa mendatang. Rahn
mempunyai sisi pelapasan barang dan pemberian utang seperti halny adalah maka
djual beli. Ucapan serah terima ini diharuskan ada kesinambungan antara ucapan
penyerahan ( Ijab ) dan ucapan penerimaan ( Qobul ). Apa yang telah diucpakan
oleh kedua belah pihak tidak boleh ada jeda dari transaksi lain.
2.4 Pengambilan
Manfaat Barang Gadai
Jumhur
ulama fiqh, selain ulama Hanabilah, berpendapat bahwa pemegang barang jaminan
tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya
secara penuh. Apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya utangnya, ia
boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi piutangnya.
Akan
tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan
barang itu selama di tangannya, maka sebagian ulama Hanafiyah membolehkannya,
karena dengan adanya izin, tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan
untuk memanfaatkan barang jaminan itu. Akan tetapi, sebagian ulama Hanafiyah
lainnya, Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat, sekalipun pemilik barang
itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang
jaminan itu. Karena, apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil
pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang syara’, sekalipun diizinkan
pemilik barang .
Apabila barang gadaian
berupa hewan atau kendaraan, penerima gadai boleh mengambil susunya dan
menungganginya dalam kadar seimbang dengan makanan dan biaya yang diberikan
untuknya. Dalamg hail ini, orang yang menerima gadai tidak perlu meminta izin
oleh pemiliknya, tetapi menurut madzhab Hambali, apabila barang yang
digadaiakan berupa hewan atau sesuatu yang tidak memerlukan biaya pemeliharaan,
seperti tanah, maka pemegang agunan atau barang tidak boleh mengambil atau
memanfaatkannya .
Orang
yang memegang barang gadaian boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan
hanya sekedar mengganti kerugiannya untuk menjaga barang itu.
Sabda Rasulullah Saw.
اِذَاارْتُهِنَ
شَاةٌ شَرِبَ المُرْتَهِنُ مِنْ لَبَنِهَا بِقَدْرِ عَلْفِهَا فَاِنِاسْتَفْضَلَ
مِنَ اللَبَنِ بَعْدَ ثَمَنِ العَلْفِ فَهُوَ رِبَا
“Apabila seekor kambing
digadaikan, maka yang memegang gadaian itu boleh meminum susunya sekedar
sebanyak makanan yang diberikannya pada kambing itu. Maka jika dilebihkannya
dari sebanyak itu, lebihnya itu menjadi riba.” (Riwayat Hammad bin Salmah) .
2.5 Operasionalisasi
Barang Gadai dan perbedaan dengan akad gadai konvesional
Akad gadai secara
operasioanal memeiliki sejumlah karakteristik yang perlu diperhatikan oleh
pihak-pihak yang akan melakukan akad ini. Sejumlah karakteristik tersebut terkait
dengan marhun( barang gadaian ), Hak dan Kewajiaban serta larangan rahin dan
murtahin, antara lain yaitu :
1. Barang
gadai harus ditangan murtahin bukan ditangan rahin dan barang yang tidak boleh
di perjualbelikan tidak boleh digadaiakan, kecuali tanaman dan buah-buahan yang
masih ada dipohonnya yang belum masak, karena penjualan kedua barang tersebut
hukumnya haram, tetapi bila digadaikan diperbolehkan, karena tidak ada unsur
ghoror didalamnya.
2. Murtahin
mempunyai hak untuk menahan marhun sampai semua hutang rohin terlunasi
3. Pemeliharaan
dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat
dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan
tetap kewajiban rahin.
Dari oparasional rahn
diatas berbeda dengan penggadaian konvesioanl pada umumnya. Perbedaan tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Di
dalam penggaidaian konvesional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang
disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman. Sedangkan dalam rahn
hanya diperkenankan untuk mengambil sejumlah dana dari biaya perawatan dan sewa
atas uang pemeliharaan .
2. Penggadaian
konvesioanal hanya melakukan satu akad perjanjian, hutang piutang dengan
jaminan barang yang bergerak dan ditinjau dari aspek hukum konvesioanal,
keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir. Berbeda dengan
penggadaian syari’ah yang hanya mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang
jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.
Dalam lembaga keuangan
syari’ah transaksi rahn dapatdilakukan dengan dua cara, yaitu :
1. Sebagai
produk pelengkap, dalam produk ini, akad rahn merupakan pengiring dari
produk-produk perbankan yang lain, seperti produk bai’ murabahahmaupunqordl
al-hasan. Bank dapat menahan barang dari nasabah sebagai jaminan atau
kollateral bagi akad yang lain. Dalam hal ini, barang yang ditahan oleh bank
harus tetap diberlakukan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam akad rahn.
2. Sebagai
produk tersendiri, dalam artian rahn dilembagakan sebagai sebuah lembaga
keuangan selain bank. Dalam prakteknya rahn dapat digunakan untuk alterative
lain dari penggadaian konvesional .
2.6 Penjualan
Barang Gadai
Marhun ( barang gadaian
) merupakan jaminan atas
hutang yang jatuh tempo perjanjian tidak bias
melunasi hutangnya tetapi bisa diambil dari barang gadaian tersebut, pelunasan
melalui penjualan dari barang gadai haruslah sama besarnya tanggungan yang
harus dipikul oleh penggadai rahin. Artinya jika barang tersebut telah terjual
ternyata harganya melebihi tanggungan penggadain makan selebihnya adalah
menjadi hak penggadai .
Dalam penjualan marhun
atau barang gadai ini, ada kekuasaan menjual rahn antara lain :
1. apabila
telah jatuh temponya, murtahin harus memperingatkan rahin terlebih dahulu untuk
segera melunasi hutangnya, dana pabila rahin tidak melunasi hutangnya, maka
marhun dijual paksa.
2. Penjualan
dalam waktu pilihan ( dalam berlangsung nyarahn ). Ulama’ sepakat bahwa yang
berhak menjual marhun atau barang gadaian adalah rahin, tetapi harus seizin
murtahin .
3. Menjual
barang yang cepetrusak, jika tidak segera dijual dan tidak akan bertahan lama,
murtahin dibolehkan untuk menjualnya atas seizing hakim.
4. Hak
menentukan harga
Jumhurulama’ telah
sepakat bahwa murtahin lebih berhak dalam menentukan harga jual borg atau
barang gadaian.
5. Murtahin
mensyaratkan untuk memiliki borg atau barang gadaian
Ulama’ telah sepakat
bahwa murtahin tidak boleh mensyaratkan bahwa jika rahin tidak mampu untuk
membayar, barang gadaian menjadi miliknya. Yang seperti itu dikatagorikan
syarat fasid .
2.7 Akhir
Rahn
Dalam
masalah ini, ulama’ berbeda pendapat. Menurut sebagian ulama’, barang gadai
adalah amanah dari orang yang menggadaiakan. Pemegang barang gadai sebagai
pemegang amanah tidak bertanggung jawab kehilangan atau kerusakan tanggungan,
entah karena sengaja merusaknya atau lalai.
Pendapat
lain mengatakan bahwa kerusakan yang terjadi dalam barang gadai ditanggung oleh
penerima gadai ( murtahin ), karena barang gadai adalah jaminan atas hutangnya,
sehinnga jika barang rusak maka kewajiban atas melunasi hutang akan menjadi
hilang juga.
Rahn dipandang habis
dengan beberapa keadaan seperti membebaskan hutang, hibah, membayar hutang dan
lain-lain yang akan dijelaskan dibawah ini :
1. Borg
atau barang gadaian diserahkan kepada pemiliknya
2. Rahin
telah membayar atau melunasi huatang
3. Pembatalan
rahn dari pihak murtahin
4. Rusaknya
barang gadai bukan karena tindakan murtahin
5. Dipaksa
menjual borg atau barang gadaian dengan perintah hakimatas perintah hakim rahin
6. Rahin
meninggal
7. Pembebasan
hutang dengan cara apapun
8. Memanfaatkan
barang gadai dengan cara menyewakan, hibah, atau hadiah, baik dari pihak rahin
atau murtahin .
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam akad jual beli ada
yang namanya penggadaian yang mana menggadaikan suatu barang untuk jaminan atas
hutang yang mengikat dan dapat di ambol manfaatnya. Dalam hal ini penggadaian
salah satu cara alternatif untuk mendapatkan uang dengan cara menyerahkan suatu
barang yang berharga dan bermanfaat sebagi jamninanny.
Penggadaian ini
dibolehkan dalam islam dengan adanya dalil-dalil yang menunjukkan atas
kebolehannya. Adapun dalil-dalil tentang kebolehan gadai ini, kami mengambil
dari al qur’an, as-Sunnah dan Ijma’. Yang sudah pasti keabsholutannya yang
tidak mungkin diragukan lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Afendi,
Yazid, FIQIH MUAMALAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH,
Yogykarta : Logung Pustaka. 2009
Ø Syafi’i,
Rachmat, FIQIH MUAMALAH, Bandung : CV PUSTAKA SETIA. 2001
Ø Subekti,
Kitab Undang-undang HUKUM PERDATA ( BW ), Tjitrosudibio, ( Jakarta : Pradnya
Paramita. 2004
Ø Nawawi,
Isma’il, FIKIH MUAMALAH Klasik dan Konteporer, Bogor : Ghalia Indonesia.
2012
Ø Lathif,
AH. Azharuddin. Fiqh Muamalat. Jakarta : UIN Jakarta Press, 2005.
Ø Rasjid,
Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo,1992.
0 Response to "Makalah Hukum Gadai"
Post a Comment